Hai! Kenalkan, namaku Saffara atau akrab dipanggil Ara. Beberapa bulan lalu aku memang sedang memiliki kedekatan dengan teman lamaku, Bhumi namanya. Hubungan kami biasa saja, tidak ada yang istimewa. Walau teman-temanku menampik jika kedekatan kami sebatas label teman. Entahlah. Namanya juga wanita, tafsirannya saja yang terlalu luar biasa. Mungkin aku yang terlalu mengambil hati perilaku baik kawan lamaku ini.
Aku sudah
beberapa kali berdiskusi dengannya, meminta jalan tengah perihal 'kita'. Aku
memilih kata selesai, padahal tidak pernah ada mulai. Haha, tapi apalah daya
dua orang dengan tujuan berbeda dan memaksakan menggunakan angkutan
yang sama. Kami berdebat di sepanjang jalan, begitu gaduh sampai
orang-orang menaruh perhatian. Katanya kita harus sampai, tapi bagaimana bisa?
Menghabiskan waktu saja. Saat menyinggung prinsip kedua manusia ini berubah menjadi kanebo kering, sama-sama kaku. Ara tetaplah Ara yang memiliki mau sekuat batu. Bhumi mulai mundur
perlahan sebelum segalanya semakin runyam. Bhumi akhirnya mengiakan
keputusanku untuk turun dari 'angkutan' di persimpangan depan. Namun ia memberi
syarat agar aku bersedia menemaninya menunaikan sebuah misi yang ia sebut
janji. Baik, aku turuti.
Setelahnya hubunganku
dan Bhumi semakin berjarak, tidak masalah, tidak ada perbedaan signifikan juga
setelah berpisah. Mungkin WhatsAppku saja yang terasa lengang. Semua baik-baik
saja, hingga saat Bhumi mengunggah cerita dengan seorang gadis rekan sekolahnya
yang sedang jalan-jalan tipis. 'Wahaha
tragis,' batinku menertawai kemalangan sendiri. Ban serep saja kepedean,
dasar aku!
"Yaudah, yaudah sih, Non," begitu kalau kata Nopal yang tidak pernah paham dengan duduk permasalahan
kami tetapi tetap berusaha meredam kecewaku.
Sampai
suatu hari saat Nopal menawarkan ngopi bareng Bhumi dan Bintang aku ingin
sekali menolak. Tak lain karena aku belum bisa memoles wajahku dengan taburan
ikhlas. Malu lah aku yang masih tertatih dalam masa denial perempuan yang lama,
padahal dianya sudah biasa-biasa saja dalam hitungan pekan. Tapi setelah ku pikir-pikir, tidak berarti
silaturahmi harus terputus bukan? Baik, aku iyakan.
Bukan main,
raut kaku dan salah tingkahku masih jelas terbaca, canggungku mudah dieja. Tak apa, bukan kah semua
butuh waktu? Kami berempat memesan minuman masing-masing, saling mencicipi
pesanan satu sama lain. Sambil berbincang aku juga menyapu pandang. Ternyata oh ternyata si gadis manis tadi juga diikut
sertakan di meja seberang, dan saat pamit pulang mereka berboncengan. Sontak
akupun terpaku. Bintang dan Nopal? Sama
saja, mereka melongo dengan keberanian Bhumi membawa sang gadis dan
mengantarkan pulang mendahului kami. Jangan tanya bagaimana perasaanku, sudah tentu
tak karuan. Ingin ku jabat mereka berdua sambil memberi selamat,
'Selamat
merayakan bahagia di atas dentuman luka.'
Tapi
sayangnya hatiku belum begitu luas dan ikhlas. Akumulasi kecewa dan tidak
karuannya perasaan akhirnya tergambar jelas pada air mukaku yang makin keruh.
Aku keliru, ternyata obat lara bukanlah waktu. Banyak yang aku lupa dalam masa
pemulihan. Aku belum mampu memaafkan, baik kesalahan diriku sendiri maupun
Bhumi. Aku belum menempatkan ikhlas tidak pada urutan teratas.
Bersambung...
WAKTU BUKANLAH OBAT
Reviewed by Han
on
Juni 14, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: