Sebuah meja berkapasitas empat orang di pojok hanya di isi dua orang saja, seorang gadis berkerudung hitam yang sedang membetulkan posisinya duduk dan laki-laki yang sedang melepas jaket parka teracotta, mereka berdua tak lain Alula dan Zun. Kedai Teras Rumah atau KTR, tempat ngopi yang agak jauh dari kampus menjadi pilihan keduanya. Seperti biasa mereka malas jika pertemuan mereka menjadi sorotan dan diketahui oleh teman-teman keduanya walau mereka jauh dari kata bintang kampus, ada yang mengenal mereka saja syukur, apalagi Alula.
“Bang
Zun mau pesen apa?”
“Biasa,
coklat panas aja.”
“
Ya Allah nggak bosen apa coklat mulu ih,” protes Alula, “aku kopi susu arabika
aja deh, udah makan jadi insyaa Allah aman,” tukas Alula.
“Kenapa
bilang di sini?” Zun memajukan dagunya
dengan raut bingung.
“Bang..”
Lula mengedipkan kedua matanya bersamaan dengan senyum mencurigakan seperti
mengirimkan sinyal isyarat.
“Ishhh…”
Zun segera beranjak untuk memesan minuman.
Sambil menunggu Zun kembali Alula membuka ponsel untuk melihat notifikasi yang
cukup menumpuk. Ia yang risihan akhirnya mengaktifkan mode don't disturb, dan
men-silent ponselnya.
"Ngapain
tanya kalau aku yang suruh pesen juga."
Kalimat
Zun cukup mengagetkan Alula yang masih mengotak-atik ponselnya.
"Sssttt
sssttt udah, Bang. Gausa marah-marah, duduk duduk. Jadi bantu aku nggak?"
Alula malas menanggapi pentanyaan Zun terlalu serius, ia langsung membelokkan
pada inti pertemuan mereka malam itu.
“Kenapa
tugasmu?” balas Zun terhanyut dalam topik yang dialihkan.
“Besok
ada dua deadline, dan salah satunya harus ngedit video. Abang mau bantuin
nggak?” kata Alula dengan puppy eye yang membuat Zun tidak mampu mengelak dan
berkata tidak. Zun paham gadis di hadapannya memang belum begitu lihai dalam
hal video editing walau hari-harinya juga seputar mendesain dan mengedit foto
sama dengan dirinya, tapi unuk mengedit video memang suatu hal yang masih cukup
awam bagi Alula.
“Yaudah,
footage-nya dikirim aja, atau masukin di flash disk. Aku bawa OTG kok,” sahut
Zun yang luluh begitu saja dengan puppy eye andalan Alula.
“Aaaa..
makasih Bang Zun yang baik hati dan sombong sedikit. Wait.. Aku pindahin
sebentar.” Alula mulai sibuk membuka laptopnya dan memindahkan
footage-footage video ke dalam flash disk miliknya.
“Atas
nama Zunairi..” tanya laki-laki seumuran Zun membawa kopi susu
arabika dan coklat panas pesanannya.
“Makasiih,
Mas,” jawab Alula dan Zun bersahutan.
“Namanya
ganti lagi nih Bang? Kapan slametannya? Ahahha” tanya Alula
memajukan kepalanya ke depan dengan nada berbisik meledek nama Zun yang
lagi-lagi ganti karena terlalu rumit dibaca.
***
Zun adalah
laki-laki berperawakan ideal dengan tinggi 170 cm, rambutnya agak gondrong jadi
sering ia ikat agar tidak gerah. Tempat tinggalnya yang berada di kaki Gunung
Merbabu membuatnya tumbuh menjadi lelaki sederhana dan jauh dari kata neko-neko
atau orang Jawa kerap menyebutnya ‘prasojo’. Entah nama pemberian dari orang
tuanya yang terlalu sulit dilafalkan atau memang orang-orang kurang jeli dalam
membaca namanya, entah menjadi Zunuri, Zunairi, Zurnain, dan beberapa pelafalan
salah lainnya. Padahal orang tuanya memberi nama begitu bagus yaitu Faizal
Zunnurain Putradi, yang memiliki arti laki-laki yang memiliki dua cahaya yang
mampu menjadi pembeda antara kebaikan dan keburukan, dua cahaya tersebut
maksudnya ibu dan kakak perempuannya. Zun merupakan dua bersaudara, kakaknya
selisih 4 tahun di atasnya, sudah menikah, dan sudah menghadiahi panggilan Om
untuk adik laki-laki kesayangannya tersebut.
“La..”
panggil Zun lirih membuyarkan konsentrasi Alula yang sedang fokus mendesain.
“Haa? Apa, Bang?”
jawab Alula sekenanya dengan mata yang masih lekat dengan desain yang sedang ia
garap.
“Laaa...” panggil
Zun sekali lagi dengan nada semakin lirih dan tempo semakin pelan meminta
perhatian.
“Apa, Bang
Zun?” kali ini kedua pasang manik coklat tersebut bertemu.
“Gimana kamu
sama Arga? Mma-sih..?” suara Zun masih sama lirihnya.
“Ya nggak
gimana-gimana. Masih kok, masih sebatas teman, dan sampai kapan pun tetap menjadi
teman. Kalau dia keras kepala dan melampaui batas ya mungkin pertemanan kita yang
dicukupkan.”
Zun menelan
ludah kasar mendengar perkataan gadis di depannya. Tak main-main konsekuensi yang
akan Alula berikan pada pria yang berani melampaui batas toleransi yang ia beri.
Alula melontarkan kalimat tadi tanpa terbesit sedikit raut keraguan, ia
mengatakannya dengan lugas dan penekanan kalimat yang mantap.
“Lalu?”
“Lalu apalagi,
Bang?” Alula yang mulai fokus pada desainnya tiba-tiba
menghentikan aktivitasnya dan memperhatikan Zun dengan seksama, sekarang
tangannya ia lipat di atas meja dan wajahnya sudah siap menyimak pertanyaan
yang tertahan untuk diucapkan Zun. Alula mampu membaca banyak tanda tanya di
bibir laki-laki di depannya tersebut.
“Lalu, yang
seperti apa? Bukannya Ar..” kalimat Zun dipotong begitu saja
oleh Alula
“Apa? Karena Arga
suka ngasih aku gifts?” Alula tersenyum tipis, “nggak gitu
Bang cara kerjanya,” Alula menggeleng pelan dan senyumnya semakin mengembang.
Tidak ada komentar: