Chapter 3: SATU MEJA

 Sebuah meja berkapasitas empat orang di pojok hanya di isi dua orang saja, seorang gadis berkerudung hitam yang sedang membetulkan posisinya duduk dan laki-laki yang sedang melepas jaket parka teracotta, mereka berdua tak lain Alula dan Zun. Kedai Teras Rumah atau KTR, tempat ngopi yang agak jauh dari kampus menjadi pilihan keduanya. Seperti biasa mereka malas jika pertemuan mereka menjadi sorotan dan diketahui oleh teman-teman keduanya walau mereka jauh dari kata bintang kampus, ada yang mengenal mereka saja syukur, apalagi Alula.

“Bang Zun mau pesen apa?”

“Biasa, coklat panas aja.”

“ Ya Allah nggak bosen apa coklat mulu ih,” protes Alula, “aku kopi susu arabika aja deh, udah makan jadi insyaa Allah aman,” tukas Alula.

“Kenapa bilang di sini?” Zun  memajukan dagunya dengan raut bingung.

“Bang..” Lula mengedipkan kedua matanya bersamaan dengan senyum mencurigakan seperti mengirimkan sinyal isyarat.

“Ishhh…”

 Zun segera beranjak untuk memesan minuman. Sambil menunggu Zun kembali Alula membuka ponsel untuk melihat notifikasi yang cukup menumpuk. Ia yang risihan akhirnya mengaktifkan mode don't disturb, dan men-silent ponselnya.

"Ngapain tanya kalau aku yang suruh pesen juga."

Kalimat Zun cukup mengagetkan Alula yang masih mengotak-atik ponselnya.

"Sssttt sssttt udah, Bang. Gausa marah-marah, duduk duduk. Jadi bantu aku nggak?" Alula malas menanggapi pentanyaan Zun terlalu serius, ia langsung membelokkan pada inti pertemuan mereka malam itu.

“Kenapa tugasmu?” balas Zun terhanyut dalam topik yang dialihkan.

“Besok ada dua deadline, dan salah satunya harus ngedit video. Abang mau bantuin nggak?” kata Alula dengan puppy eye yang membuat Zun tidak mampu mengelak dan berkata tidak. Zun paham gadis di hadapannya memang belum begitu lihai dalam hal video editing walau hari-harinya juga seputar mendesain dan mengedit foto sama dengan dirinya, tapi unuk mengedit video memang suatu hal yang masih cukup awam bagi Alula.

“Yaudah, footage-nya dikirim aja, atau masukin di flash disk. Aku bawa OTG kok,” sahut Zun yang luluh begitu saja dengan puppy eye andalan Alula.

“Aaaa.. makasih Bang Zun yang baik hati dan sombong sedikit. Wait.. Aku pindahin sebentar.” Alula mulai sibuk membuka laptopnya dan memindahkan footage-footage video ke dalam flash disk miliknya.

“Atas nama Zunairi..” tanya laki-laki seumuran Zun membawa kopi susu arabika dan coklat panas pesanannya.

“Makasiih, Mas,” jawab Alula dan Zun bersahutan.

“Namanya ganti lagi nih Bang? Kapan slametannya? Ahahha” tanya Alula memajukan kepalanya ke depan dengan nada berbisik meledek nama Zun yang lagi-lagi ganti karena terlalu rumit dibaca.

***

Zun adalah laki-laki berperawakan ideal dengan tinggi 170 cm, rambutnya agak gondrong jadi sering ia ikat agar tidak gerah. Tempat tinggalnya yang berada di kaki Gunung Merbabu membuatnya tumbuh menjadi lelaki sederhana dan jauh dari kata neko-neko atau orang Jawa kerap menyebutnya ‘prasojo’. Entah nama pemberian dari orang tuanya yang terlalu sulit dilafalkan atau memang orang-orang kurang jeli dalam membaca namanya, entah menjadi Zunuri, Zunairi, Zurnain, dan beberapa pelafalan salah lainnya. Padahal orang tuanya memberi nama begitu bagus yaitu Faizal Zunnurain Putradi, yang memiliki arti laki-laki yang memiliki dua cahaya yang mampu menjadi pembeda antara kebaikan dan keburukan, dua cahaya tersebut maksudnya ibu dan kakak perempuannya. Zun merupakan dua bersaudara, kakaknya selisih 4 tahun di atasnya, sudah menikah, dan sudah menghadiahi panggilan Om untuk adik laki-laki kesayangannya tersebut.

“La..” panggil Zun lirih membuyarkan konsentrasi Alula yang sedang fokus mendesain.

“Haa? Apa, Bang?” jawab Alula sekenanya dengan mata yang masih lekat dengan desain yang sedang ia garap.

“Laaa...” panggil Zun sekali lagi dengan nada semakin lirih dan tempo semakin pelan meminta perhatian.

“Apa, Bang Zun?” kali ini kedua pasang manik coklat tersebut bertemu.

“Gimana kamu sama Arga? Mma-sih..?” suara Zun masih sama lirihnya.

“Ya nggak gimana-gimana. Masih kok, masih sebatas teman, dan sampai kapan pun tetap menjadi teman. Kalau dia keras kepala dan melampaui batas ya mungkin pertemanan kita yang dicukupkan.”

Zun menelan ludah kasar mendengar perkataan gadis di depannya. Tak main-main konsekuensi yang akan Alula berikan pada pria yang berani melampaui batas toleransi yang ia beri. Alula melontarkan kalimat tadi tanpa terbesit sedikit raut keraguan, ia mengatakannya dengan lugas dan penekanan kalimat yang mantap.

“Lalu?”

“Lalu apalagi, Bang?” Alula yang mulai fokus pada desainnya tiba-tiba menghentikan aktivitasnya dan memperhatikan Zun dengan seksama, sekarang tangannya ia lipat di atas meja dan wajahnya sudah siap menyimak pertanyaan yang tertahan untuk diucapkan Zun. Alula mampu membaca banyak tanda tanya di bibir laki-laki di depannya tersebut.

“Lalu, yang seperti apa? Bukannya Ar..” kalimat Zun dipotong begitu saja oleh Alula

“Apa? Karena Arga suka ngasih aku gifts?” Alula tersenyum tipis, “nggak gitu Bang cara kerjanya,” Alula menggeleng pelan dan senyumnya semakin mengembang.

“Banyak banget pertimbanganku, pertama aku nggak mau ngrusak pertemananku, kedua love language-ku bukan giving gift, ya aku seneng, aku mengapresiasi, tapi tidak lantas membuatku ‘luluh’ begitu saja, dan yang paling penting, kita nggak satu kufu, Bang. Orang tuanya Arga status sosialnya tinggi, orang sangat berada, ya aku tau diri aja, jadi mencukupkan dan me-nyetting sejak awal bahwa hubungan kita sampai teman saja. Gimana?”  Zun mengangguk pelan mencoba paham dan mencerna penjelasan lawan bicaranya.  Lampu taman yang berwarna kuning redup membuat suasana hening nan dingin sedikit menghangat. Sudah lama ia tidak mendengar argumen idealis gadis di depannya itu.
Chapter 3: SATU MEJA Chapter 3: SATU MEJA Reviewed by Han on September 17, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.