Chapter 1: MENGURAI RUNYAM

(POV Alula)

Pekan ini adalah pekan ter-tidak produktif yang pernah aku miliki. Bolak balik membuka ponsel sepanjang hari, tugas kampus yang biasanya dikerjakan setengah hati, sudah jadi seperempat. Pikiranku terjerembab,
“Setelah lulus mau ngapain dulu ya?”
Awalnya aku bertanya pada teman-teman. Siapa tahu mereka punya rencana yang sudah mereka tata sedemikian rupa runtutnya. Tapi ternyata salah, bahkan mereka belum tahu langkah pertama harus diarahkan ke mana. Sebenarnya aku sudah mengincar tujuan, tapi sayang petunjuk jalan belum ada di tangan. Aku sadar langkahku akan panjang. Terlalu lama menerka rute perjalanan dan menghitung banyaknya kerikil yang siap menyandung di jalan membuat semangatku tunggang langgang.
Dari beberapa orang yang sudah ku tanya dan ku ajak diskusi, belum juga kutemukan titik temu yang aku ingini. Ku ingat-ingat satu per satu kawan yang sekiranya bisa memberikan pencerahan. Akhirnya aku menemukan nama Bang Zun di deretan kontak, lagi-lagi aku mengganggunya malam-malam. Sudah pasti akan mengganggu me time-nya atau malah menggangunya bekerja. Tapi aku sudah habis ide menelusuri siapa yang sebenarnya Tuhan titipi amanah membantuku mengurai runyam yang tak kunjung redam,
“Abang, kalau luang bisa ngobrol nggak? Kalau bisa kabarin ya?” pintaku meninggalkan pesan di bilik percakapan.
"Ya. Udah,” jawab Bang Zun selalu singkat dan padat pada awalnya, mungkin dimaksudkan untuk menjaga wibawa. Entah

Awalnya aku sangat ragu menceritakan ini padanya, menambah beban pikir orang lain saja. Mau bagaimana lagi, aku butuh laki-laki untuk memetakan masalah ini dengan logika. Kalutnya pikiranku terbaca dengan bolak-balik menghapus kata yang ku tulis, juga typing yang tak kunjung selesai. Sial, bahkan aku sulit merunut masalahku sendiri. Mungkin Bang Zun mengamatiku bermenit-menit mengetik dan tak kunjung ada pesan yang sampai. Sekalinya pesan terkirim,
“Gimana jelasinnya ya,” kataku pasrah.
“Abang bukan laki-laki yang peka, La. Kalau kamu ngomong separuh-separuh, terus Abang menerka-nerka, nanti malah ga nyambung. Kalau kamu terbuka Abang bakalan lebih paham yang kamu maksud, La,” beliau tau aku ragu untuk menumpahkan segala keluh dan kesah yang membuatku resah.
Bang Zun hampir selalu berhasil membuatku angkat bicara, bahkan ia pernah berhasil mengulik lara yang hanya kusimpan dalam tatanan aksara. Akhirnya aku mampu menjelaskan panjang lebar beraneka warna benang yang membuat pikiranku runyam dan membuat segala aktivitas menjadi muram. Kutumpahkan saja segala kesah yang sedang hinggap. Bang Zun, maafkan aku.
Agaknya jawaban Bang Zun malam tadi mampu mengikis kegusaranku akhir-akhir ini. Tanggapannya selalu apresiatif dengan mimpi yang ku ceritakan,
“Aamiin, aku setuju, La. Banyak banget pengalaman yg bakal didapet dan nggak nyangka kalau bisa keluar dari tempat bersarang. Untuk Ibu, aku nggaka tau ibuk gimana, tapi setauku yang sok tau, orang tua yang baik akan mensupport anaknya, demi anaknya berkembangnya. Masalah uang bisa dicari, mahal pengalamannya, La. Toh Ibu juga bakal bangga kalau anaknya bisa mandiri walaupun belum secara finansial, setidaknya dia bisa survive ketika jauh dari orang tua, dan ini waktu yang tepat buat buktiin, La. Kalau kamu bakalan baik-baik saja di perantauan,” begitu tanggapan beliau.
“Ga usah malu, La. Setiap orang punya mimpi. Kadang prinsipku gini. Seperti Sudjiwo Tedjo bilang, Mimpimu masih kecil kalau belum ditertawakan orang lain. Jadi kalau belum ditertawakan, mimpiku belum gila dongg,” lanjut Bang Zun membesarkan hatiku yang sudah mengekrut betul malam itu.
Menyimak jawaban Bang Zun bak melepaskan satu per satu jeratan tali kuat yang beberapa hari terakhir mengikat erat. Kalau boleh sedikit melebihkan, malam itu aku melihat ada lingkaran bersinar mengapung di atas kepala Bang Zun. Di balik punggungnya yang tegap mulai muncul sayap yang siap mengepak. Jawaban Bang Zun yang biasanya menyebalkan dan terlihat ketus tidak kutemui tadi malam. Emm walau sebenarnya jawaban beliau yang menyebalkan pun tetap aku perlukan. Beliau paham kadang aku bertanya sekadar mencari pembenaran, mencari dukungan untuk memanjakan diri saja. Pasti dia menolak mentah-mentah.
Bang Zun tak segan menyuruhku mengecat kamar sendiri, alasan badan kurang tinggi tidak akan mempan ku jadikan senjata. Katanya bertamu ke Warung Mbok Yem di Puncak Lawu saja bisa? Masa moles kamar saja berkilah. Baiklah. Tapi rata-rata jawabannya yang sarkas itu benar, aku bisa melakukannya. Bahkan sendiri. Hanya saja aku selalu membatasi diri untuk berekplorasi, menyekat dengan jeratan takut dan beratus rasa semrawut.
Terima kasih Bang sudah selalu di garda terdepan, melihat dan memberi semangat padaku yang sedang berlatih berjalan sendiri! Walau masih tertatih yang penting tidak bergatung untuk dititah. Mandiri kan, Bang?


Kota Gudeg, 2020
Chapter 1: MENGURAI RUNYAM Chapter 1: MENGURAI RUNYAM Reviewed by Han on Juni 23, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.