(POV Alula)
Pekan
ini adalah pekan ter-tidak produktif yang pernah aku miliki. Bolak balik
membuka ponsel sepanjang hari, tugas kampus yang biasanya dikerjakan setengah
hati, sudah jadi seperempat. Pikiranku terjerembab,
“Setelah lulus mau ngapain dulu
ya?”
Awalnya aku bertanya pada teman-teman. Siapa tahu mereka punya
rencana yang sudah mereka tata sedemikian rupa runtutnya. Tapi ternyata salah,
bahkan mereka belum tahu langkah pertama harus diarahkan ke mana. Sebenarnya aku
sudah mengincar tujuan, tapi sayang petunjuk jalan belum ada di tangan. Aku
sadar langkahku akan panjang. Terlalu lama menerka rute perjalanan dan
menghitung banyaknya kerikil yang siap menyandung di jalan membuat semangatku
tunggang langgang.
Dari beberapa orang yang
sudah ku tanya dan ku ajak diskusi, belum juga kutemukan titik temu yang aku ingini.
Ku ingat-ingat satu per satu kawan yang sekiranya bisa memberikan pencerahan. Akhirnya aku
menemukan nama Bang Zun di deretan kontak, lagi-lagi aku mengganggunya malam-malam. Sudah pasti akan mengganggu me time-nya atau
malah menggangunya bekerja. Tapi aku sudah habis ide menelusuri siapa yang
sebenarnya Tuhan titipi amanah membantuku mengurai runyam yang tak kunjung redam,
“Abang,
kalau luang bisa ngobrol nggak? Kalau bisa kabarin ya?” pintaku
meninggalkan pesan di bilik percakapan.
"Ya.
Udah,” jawab Bang Zun selalu singkat dan padat pada awalnya,
mungkin dimaksudkan untuk menjaga wibawa. Entah
Awalnya aku sangat ragu
menceritakan ini padanya, menambah beban pikir orang lain saja. Mau bagaimana lagi,
aku butuh laki-laki untuk memetakan masalah ini dengan logika. Kalutnya
pikiranku terbaca dengan bolak-balik menghapus kata yang ku tulis, juga typing yang
tak kunjung selesai. Sial, bahkan aku sulit merunut masalahku sendiri. Mungkin
Bang Zun mengamatiku bermenit-menit mengetik dan tak kunjung ada pesan yang
sampai. Sekalinya pesan terkirim,
“Gimana
jelasinnya ya,” kataku pasrah.
“Abang
bukan laki-laki yang peka, La. Kalau kamu ngomong separuh-separuh, terus Abang
menerka-nerka, nanti malah ga nyambung. Kalau kamu terbuka Abang bakalan lebih
paham yang kamu maksud, La,” beliau tau aku
ragu untuk menumpahkan segala keluh dan kesah yang membuatku resah.
Bang Zun hampir selalu berhasil membuatku angkat bicara, bahkan ia
pernah berhasil mengulik lara yang hanya kusimpan dalam tatanan aksara.
Akhirnya aku mampu menjelaskan panjang lebar beraneka warna benang yang membuat
pikiranku runyam dan membuat segala aktivitas menjadi muram. Kutumpahkan saja
segala kesah yang sedang hinggap. Bang Zun, maafkan aku.
Agaknya jawaban Bang Zun malam tadi mampu mengikis kegusaranku
akhir-akhir ini. Tanggapannya selalu apresiatif dengan mimpi yang ku ceritakan,
“Aamiin,
aku setuju, La. Banyak banget pengalaman yg bakal didapet dan nggak nyangka
kalau bisa keluar dari tempat bersarang. Untuk Ibu, aku nggaka tau ibuk gimana,
tapi setauku yang sok tau, orang tua yang baik akan mensupport anaknya, demi
anaknya berkembangnya. Masalah uang bisa dicari, mahal pengalamannya, La. Toh
Ibu juga bakal bangga kalau anaknya bisa mandiri walaupun belum secara
finansial, setidaknya dia bisa survive ketika jauh dari orang tua, dan ini
waktu yang tepat buat buktiin, La. Kalau kamu bakalan baik-baik saja di
perantauan,” begitu tanggapan beliau.
“Ga
usah malu, La. Setiap orang punya mimpi. Kadang prinsipku gini. Seperti Sudjiwo
Tedjo bilang, Mimpimu masih kecil kalau belum ditertawakan orang lain. Jadi
kalau belum ditertawakan, mimpiku belum gila dongg,” lanjut
Bang Zun membesarkan hatiku yang sudah mengekrut betul malam itu.
Menyimak jawaban Bang Zun bak melepaskan satu per satu jeratan tali
kuat yang beberapa hari terakhir mengikat erat. Kalau boleh sedikit melebihkan,
malam itu aku melihat ada lingkaran bersinar mengapung di atas kepala Bang Zun.
Di balik punggungnya yang tegap mulai muncul sayap yang siap mengepak. Jawaban
Bang Zun yang biasanya menyebalkan dan terlihat ketus tidak kutemui tadi malam.
Emm walau sebenarnya jawaban beliau yang menyebalkan pun tetap aku perlukan.
Beliau paham kadang aku bertanya sekadar mencari pembenaran, mencari dukungan
untuk memanjakan diri saja. Pasti dia menolak mentah-mentah.
Bang Zun tak segan menyuruhku mengecat kamar sendiri, alasan badan
kurang tinggi tidak akan mempan ku jadikan senjata. Katanya bertamu ke Warung Mbok Yem di Puncak
Lawu saja bisa? Masa moles kamar saja berkilah. Baiklah. Tapi rata-rata
jawabannya yang sarkas itu benar, aku bisa melakukannya. Bahkan sendiri. Hanya saja aku selalu membatasi diri untuk berekplorasi, menyekat dengan jeratan takut dan beratus rasa semrawut.
Terima kasih Bang sudah selalu di garda terdepan, melihat dan
memberi semangat padaku yang sedang berlatih berjalan sendiri! Walau masih tertatih yang penting tidak bergatung untuk dititah. Mandiri kan, Bang?
Kota Gudeg, 2020
Chapter 1: MENGURAI RUNYAM
Reviewed by Han
on
Juni 23, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: