Laju kereta yang melewati rel depan
rumah makin lama intensitasnya semakin sedikit. Pagebluk ini membuat beberapa arus transportasi harus dikurangi, atau mungkin dihentikan sejenak
hingga keadaan menjinak. Terhitung sejak 13 Maret 2020 saya juga sudah mulai menjalani
belajar dan beraktivitas dari rumah, mengurangi segala kegiatan di luar, atau
malah bisa dibilang menghentikan total. Mungkin kegiatan di luar rumah hanya
sekedar mengantar ibu belanja atau mengambil uang di ATM saja. Pekan pertama
saya masih cukup menikmati, hitung-hitung liburan pengganti semester lima yang padat
seperti dikejar setan. Kebetulan kuliah daring saya juga tidak terlalu padat, lumayan
bisa sambil leyeh-leyeh. Namun kebahagiaan tadi tak berlangsung lama, dalam
hitungan dua pekan saya sudah digerogoti rasa bosan. Selama beberapa pekan tak bersua
dengan kawan, boro-boro dolan, sekalinya rekreasi hanya mampu ke rumah depan,
atau kebon samping rumah. Huft. Tapi seiring berjalannya waktu, saya makin
mafhum berdamai dengan ujian pandemi ini, sing penting sabar, syukur, lan ngati-ati.
Selama
masa karantina saya yang awalnya menjadi pengepul rasa bosan banting setir jadi
juragan ambisi. Sebagai tengkulak, sudah saya siapkan segudang stok ambisi yang
siap didistribusi mengisi hari-hari, agar tak begitu ‘suwung’ alias sepi. Pagebluk
ini membuat saya mengoleksi lembaran-lembaran keinginan dari paling remeh
hingga cukup serius, dimulai dari belajar merawat tubuh atau lebih
familiar disebut skincare, saya rasa tubuh saya sudah terlalu burik. Sudah diberikan
Allah nikmat tubuh yang sehat walau tidak cantik seperti definisi perempuan umumnya--yang
putih, cantik, manis, glowing,
berseri, cling-cling. Tapi izinkanlah si burik ini merawat nikmat sehat yang Allah beri,
walau bukan dengan skinker dengan harga selangit ditengah pandemi. Yaah sekedar
mengoleskan minyak zaitun ke kulit kaki, tangan, dan wajah agar tidak kering
dan mbekisik, juga mengoleskannya ke
rambut satu jam sebelum keramas agar rambut saat dipandang sedikit sejuk, tak
seperti ijuk. Ikhtiar to?
Tak
berhenti disitu saja, saya juga dikit-dikit belajar membuat gambar semi digital
hingga sepenuhnya digital. Yap! Jenis gambar yang selalu saya hindari mengingat
keterbatasan diri--pikir saya dulu. Apa lagi ya? Oiyaa saya juga meng-upgrade skill memasak yang sudah cukup lama teralihkan oleh aktivitas
akademis atau dinina bobokkan oleh rasa malas. Lumayan cilok yang selalu gagal
saya buat sejak SD kemarin berhasil. Namun masih ada PR besar dalam hal memasak
diusia 21 lebih 12 hari ini yaitu memasak sayur selain sop dan oseng-oseng,
harapan saya sih yang bersantan dan memiliki rasa otentik seperti soto, gudeg,
brongkos, opor ayam, yah yang semacam. Malu misal paksu besok rindu masakan ibu
dan aku harus terlebih dahulu telepon ibu atau ibu mertua untuk minta resepnya.
Ya biar kalau anak sedang jauh dari rumah bisa merasakan nikmat rindu
masakan ibu. Lha kan katanya masakan terhitung salah satu pengikat cinta
keluarga? Tapi lebih ke poin memasak sebagai salah satu skill bertahan hidup, dan saya harus bisa menguasainya. Kalau ada perempuan ndak bisa masak? Ya nggak papa, nggak harus juga kok. Asal pasangannya mau menerima apa adanya, zaman sekarang sudah ada gofut, tidak usah ribut.
Kulakan
ambisi recehku tak hanya itu, tetapi memang rata-rata terkait hal non akademis.
Seperti lempit-lempit baju diukur dengan jengkal tangan, agar tumpukan baju
tetap segaris dan rapi. Astaga receh sekali rupanya ambisi saya selama masa
pandemi.
Setelah direnovasi, kamar saya semakin kuat menjadi kamar umat, contohnya Embak yang tiba-tiba menggelar lapak di meja kamar saya seperti di foto. |
Nah, masterpiece keambisan
saya selama wabah adalah momen sekitar dua pekan lalu, merenovasi kamar
sendiri. Saya yang awalnya ragu untuk mengecat kamar sendiri mengingat badan minimalis, takut tak sampai. Hingga seorang kakak tingkat nyeltuk,
“Menek
Merbabu wae biso, mosok menek tembok gak biso,”
kata-katanya memang sering makdheg maktratap saat didengar. Tapi setelah
dimafhumi tak salah juga. Setelahnya saya nego dan utarakan pada Ibuk. Saat beliau acc dan meridhoi putrinya penekan untuk ngecat, saya langsung gaspol
ke toko bangunan. Untungnya dahulu tiap bapak ngecat rumah kalau belanja ngajak saya, jadi saya sedikit paham merk cat apa yang harus dibeli walau
akhirnya beli seadanya karena tidak ada. Ndak papa. Cerita Kingkin tentang
mamaknya yang serba mandiri, nandangi apa-apa
sendiri sangat amat menginspirasi. Bukan sekedar pekerjaan domestik seperti
memasak, menyapu, mencuci, tapi benerin genteng bocor, buat kandang kambing,
masang keramik, dan masih banyak hal lagi. Terlalu cemen nampaknya jika sebagai
wanita hanya terpaku diurusan domestik saja, lha wong pekerjaan nguli juga tak kalah asik. Saya tidak mau
menuntut suami saya macam-macam nanti, karena saya juga tidak mau dituntut dengan
tuntutan yang bukan kapasitas saya dan menghilangkan beberapa persen
kemaskulinitasan yang sudah ditanamkan bapak, bertahan hidup dan tidak
mengandalkan orang lain contohnya. Ya kalau kelak dapat suami saya memang tipe 'mau ubek' dan prigel alhamdulillah, hitung-hitung kan
saya bisa bantu laden. Lho kok bahas
sampai sini.
Ya
sudah, begitulah kiranya bermacam ambisi receh saya selama pandemi, ambisi yang
serius biar jadi konsumsi pribadi. Walau terlalu panjang mengulur andai, semoga
senantiasa diberi waktu untuk merealisasi. Semoga ada setitik inspirasi mengisi waktu
dari pada sekedar dodolan semangka—glundang-glundung saja! Semoga sehat dan
senantiasa terjaga kewarasan, Kawan!
Sedayu, 6 Mei 2020
KULAKAN AMBISI SELAMA PANDEMI
Reviewed by Han
on
Mei 06, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: