Chapter 2: PENASARAN

 "La, dah sampe nih," pesan Bang Zun menyembul di ponsel Alula disusul dengan panggilan yang mengagetkan,

"Halo Bang, iyaa bentar. Dah sampe mana?" Tanya Lula bergegas turun dari lantai dua.

"Dah di depan gerbang, cepet turun."

"Sab..."

 

Tuuuttt tuuttt... Panggilan diakhiri

 

Ah memang, menunggu kata sabar terlontar saja keburu ditutup telponnya. Alula paham, Zun takut dicurigai jika Alula terlalu lama turun dan celingak-celinguk sendirian di depan gerbang. Sesampainya di halaman depan Alula melihat laki-laki agak gondrong dengan jaket parka warna teracotta sedang duduk di atas motor Supra.

"Hey, Bang!" sapa Lula yang juga takut menjadi perbincangan hangat bagi kawan-kawannya yang melihat. Ah perduli apa.

"Nih bukunya, makasih ya. Sampaikan makasih juga sama temenmu yang punya bukunya," ia mengulurkan tas putih dan.. Kantong plastik bening?

"Lhah ini apaan Bang? Kok ada bonusnya?" tanya Alula sok polos dengan tanda terima kasih yang diberikan.

"Dah minum aja."

"Bilang dong Bang kalau mau nraktir. Tau gitu tadi aku request rasa yang aku pinginin hahaha," goda Lula.

"Ih enak ajaaa, dah sana naik lagi. Cariin temen-temenmu nanti," suruh Zun dengan nada datar khasnya.

"Makasiihh ya, Bang! Tiati. Besok-besok lagi yaa hahaha," kata Alula sambil berlalu begitu saja. Mata lelaki itu tak mengantarkan punggung si gadis sampai hilang dari pandangan, segera ia nyalakan lagi starter motornya dan pergi melenggang.

-

Cokelat panas.

Tak seperti lelaki pada umumnya, lelaki satu ini tak begitu menggandrungi kopi, baik kopi seduhan barista atau sekadar kopi sachetan. Baginya cokelat jauh lebih nikmat. Sampai di sore itu ia menghadiahkan cokelat panas juga untuk Alula sebagai tanda terima kasih—atas usahanya meminjamkan buku yang ingin Zun baca ke temannya. Nampaknya ia tahu bahwa Alula sedang banyak kegiatan, karenanya biar cokelat panas yang membantu meregangkanan ototnya yang menegang, juga menenangkan otaknya mungkin kesulitan untuk tenang.

"Bang, makasih ya. Tau aja lagi BM coklat, enak banget tau. Besok-besok lagi bole deh, Bang hahaha," memang gadis ini tak ada habisnya untuk membercandai kawan-kawannya secara langsung atau saat berbalas pesan.

"Halah," jawab singkat lelaki itu sesampainya di kost.

Pandangnya menyapu langit-langit kamar sambil menyeruput coklat panas di genggamannya.

"Mas Zuuunnn, nanti malem mau beli makan apa mau goreng tempe aja?" Teriakan Fikri dari luar kamar Zun membuyarkan lamunannya.

Fikri adalah adik tingkat sekaligus tetangga kost Zun. Mereka sering memasak bersama untuk menekan pengeluaran. Ya maklum, anak perantauan. Toh mereka memang pandai memasak karena sering berperjalanan di kota-kota orang, juga mendaki ke gunung. Jadi memasak bukanlah hal asing bagi keduanya.

"Beli aja lah Fik, minyak sama bawangnya juga habis."

"Yodah, makan di penyetan biasa aja yo, Mas? Habis Maghrib. Aku pingin lele bakar ni, mumpung awal bulan haha"

"Pulang dari masjid ya. Dah siap-siap sana, dah mau iqomah. Bareng aja, aku ngambil kunci motor dulu,"

-

Sesampainya di warung sambil menunggu pesanan Zun menggulirkan status-status WhatsAppnya, tidak ada hal yang menarik yang ia tunggu.

"Duh jadi pengen coklat panas nih Mas," celetuk Fikri sambil melihat ke layar gawainya.

"Kek cewe aja tiba-tiba BM"

"Ya gimana ya, lihat status Alula temen anak jurusan sebelah itu keknya seger malem-malem dingin gini minum coklat panas. Ya nggak Mas?" Cetoleh Fikri sambil mengangkat alisnya.

Zun menolehkan wajahnya dengan cepat ke arah Fikri,

"Alula? Temenmu?" Tanyanya sambil sedikit melotot saking penasarannya.

"Sekarang sih temen, sempet kepikiran buat deketin jaman-jaman semester awal yaa semester 3 lah. Tapi mikir ulang aku, Mas. Denger dari temen laki-lakinya kalau anaknya susah kenal orang baru apalagi laki-laki, ini disimpen nomornya aja karena pernah ada urusan acara, kalau enggak mah boro-boro. Lhah malah curhat kan aku haha," Fikri sadar jawabannya begitu melantur dari pertanyaan yang diajukan.

"Terus kok kamu pengen coklat panasnya dia, emang dia mromosiin atau gimana?" Selidik Zun yang tetap tenang dan tanpa lagak mencurigakan.

"Ih ini lho Mas coba lihat,

'Makasih Abang coklat panasnya!'

Gitu doang si, Mas. Tapi pengen aja. Btw nih si Abangnya abang beneran ga si? Setauku dia cuma punya kakak perempuan. Kalau ini doinya kenal sejak berapa tahun lalu ya? Hahaha" Fikri menunjukkan layar ponselnya ke depan Zun sambil terkekeh kecil.

"Kok gitu tanyanya? Emang kenapa?" Zun semakin penasaran dengan pertanyaan Fikri yang menggantung.

"Jadi kawanku pernah nih iseng DM, ga dibales sampe berbulan-bulan, bahkan dibaca aja enggak. Hmm apalagi ketemuan sama orang baru, susah Mas. Aku yang dah kenal yaa hampir 2 tahun pernah ngajak ngopi ditolak mentah-mentah. Tapi dia kalau sama temen lakik SMP atau SMA-nya gas aja diajak ngopi sampe agak malem pun. Heran. Kata Cipa si Lula emang susah percaya sama anak baru apalagi laki-laki, selektif gitu lah..."

"Lele bakar sama ayam kremes atas nama Fikriii.." teriak penjaga warung sambil membawa pesanan.

"Di siniii, Bu" teriak Fikri sambil melambaikan tangan.

Mereka berdua terdiam seakan-akan tidak ada perbincangan sebelumnya yang perlu disambung, mereka asik menyantap pesanan masing-masing. Tapi tidak dengan pikiran Zun setelah mendengar cerita dari adik tingkatnya itu. Setelah selesai menyantap makan malamnya mereka segera bergegas pulang.

Sesampainya di depan kos, Zun segera memarkirkan motornya dalam garasi karena tidak ada rencana pergi lagi malam ini. Ia berniat merampungkan kerjaannya yang masih kurang lengkap. Iyaa Zun memang sudah kerja selama setengah tahun ini, tetapi ia sengaja tidak berpindah kost karena sudah nyaman dengan lingkungan dan biayanya. Lagi pula ia tidak ngantor, melainkan mengelola akun coffee shop kawannya, ya mulai dari memotret, mendesain, hingga menjadi admin akun Instagram juga Tiktok. Setelah itu sore harinya ia mengajar bimbel anak-anak baik SMP maupun SMA.

***

Gagang pintu ia raih, aroma kamarnya sedikit lekat dengan aroma coklat yang belum ia habiskan, dan sedikit tercecer di lantai. Zun berjalan agak gontai ke arah meja kerja di kamarnya, tangan kanannya menyaut coklat panas yang sudah hilang panasnya. Tangannya beradu cepat dengan semut yang berlari ke arah cup coklat. Ia seruput coklatnya yang sudah dingin sambil tangan kirinya merogoh saku celana mencari ponselnya.

“La, lusa sore ada jadwal kosong?” dua jempol Zun sedang beradu mengetikkan pesan untuk gadis di ujung sana.

“Kosong kalau Bang Zun mau bantu aku,” tak selang lama Alula membalas pesan.

“Bantu apa dulu, Bocil?” tanya Zun penasaran.

“Lusa sore jam 4 di KTR ya. Maaf ya Bang, aku mau tidur. Punggungku pegel banget ngurus akreditasi TPA tadi. Daahhh..”

Gadis tersebut mengakhiri percakapan tersebut dengan sepihak, Zun tak bisa mengelak dengan alasan Alula yang membuatnya kalah telak. Pikirannya menyimpan segudang tanya tentang sikap Alula yang penuh teka-teki  dan tidak mampu ia telusuri dengan logika laki-laki. Alula, gadis yang pernah mengkritiknya habis saat sidang pertanggungjawaban dua tahun lalu. Mereka belum mengenal satu sama lain, bahkan terlalu berani bagi adik tingkat untuk mengkritik kinerja kakak tingkatnya di dalam forum. ‘Cih, bocah sotoy’ begitu pikir Zun dahulu. Tapi entah bagaimana cara takdir bekerja pada mereka, di semester akhirnya Zun ‘tak sengaja’ mengenal si bocah tengil ini.

Dua tahun lalu juga, tepatnya dua pekan setelah menghabisi Zun di forum dengan nada kritis setengah tengil, saat Zun menemui sahabatnya di suatu event kampus ia kembali mendengar suara bocil tengil itu,

“Mas Zun! Ciee.. Bawa buket buat siapa tu? Ahaha” teriak Alula sambil terkekeh melihat Zun mengendap-endap dan celingukan di hall kampus yang luas. Ternyata gadis tengil tersebut menjadi salah satu panitia event tersebut.

‘Sial, kenapa harus ketemu si tengil ini,’ batin Zun. Ia cukup tertegun karena suara gadis tersebut tidak setengil dua pekan lalu saat berada di ruang sidang, suaranya terdengar jauh lebih ramah, tawanya juga terdengar sangat renyah. Oh bisa bercanda juga rupanya. Sepulang acara tersebut Zun yang enggan terlalu lama menyimpan penasaran pada gadis aneh tadi segera menelusuri akun Instagramnya. Rupanya gadis tadi terbilang cukup gemar menulis dengan adanya caption yang ‘niat’ pada tiap-tiap postingannya hingga mencantumkan diary digitalnya dalam bentuk blog yang ia namai 'Sekar Antara'. Tampilan feeds instagramnya juga terbilang lumayan walau tidak terlalu rapi-rapi kalau dibandingkan feeds Instagram Zun sendiri--yang tidak perlu diragukan lagi. Tidak terlalu penting memang, tapi bagi Zun hal tersebut cukup menarik perhatiannya.

 

  -

Lagi belajar nulis cerita fiksi, ceritanya jangan diambil hati.


Chapter 2: PENASARAN Chapter 2: PENASARAN Reviewed by Han on September 15, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.