"La, dah sampe nih," pesan
Bang Zun menyembul di ponsel Alula disusul dengan panggilan yang mengagetkan,
"Halo
Bang, iyaa bentar. Dah sampe mana?" Tanya
Lula bergegas turun dari lantai dua.
"Dah
di depan gerbang, cepet turun."
"Sab..."
Tuuuttt
tuuttt... Panggilan diakhiri
Ah memang, menunggu kata sabar terlontar saja
keburu ditutup telponnya. Alula paham, Zun takut dicurigai jika Alula terlalu
lama turun dan celingak-celinguk sendirian di depan gerbang. Sesampainya di
halaman depan Alula melihat laki-laki agak gondrong dengan jaket parka warna
teracotta sedang duduk di atas motor Supra.
"Hey,
Bang!" sapa Lula yang juga takut menjadi perbincangan
hangat bagi kawan-kawannya yang melihat. Ah perduli apa.
"Nih
bukunya, makasih ya. Sampaikan makasih juga sama temenmu yang punya
bukunya," ia mengulurkan tas putih dan.. Kantong
plastik bening?
"Lhah
ini apaan Bang? Kok ada bonusnya?" tanya
Alula sok polos dengan tanda terima kasih yang diberikan.
"Dah minum aja."
"Bilang
dong Bang kalau mau nraktir. Tau gitu tadi aku request rasa yang aku pinginin
hahaha," goda Lula.
"Ih
enak ajaaa, dah sana naik lagi. Cariin temen-temenmu nanti," suruh Zun dengan nada datar khasnya.
"Makasiihh
ya, Bang! Tiati. Besok-besok lagi yaa hahaha," kata Alula sambil berlalu begitu saja. Mata lelaki itu tak
mengantarkan punggung si gadis sampai hilang dari pandangan, segera ia nyalakan
lagi starter motornya dan pergi melenggang.
-
Cokelat panas.
Tak seperti lelaki pada umumnya, lelaki satu ini
tak begitu menggandrungi kopi, baik kopi seduhan barista atau sekadar kopi
sachetan. Baginya cokelat jauh lebih nikmat. Sampai di sore itu ia
menghadiahkan cokelat panas juga untuk Alula sebagai tanda terima kasih—atas
usahanya meminjamkan buku yang ingin Zun baca ke temannya. Nampaknya ia tahu
bahwa Alula sedang banyak kegiatan, karenanya biar cokelat panas yang membantu
meregangkanan ototnya yang menegang, juga menenangkan otaknya mungkin kesulitan
untuk tenang.
"Bang,
makasih ya. Tau aja lagi BM coklat, enak banget tau. Besok-besok lagi bole deh,
Bang hahaha," memang gadis ini tak ada habisnya untuk
membercandai kawan-kawannya secara langsung atau saat berbalas pesan.
"Halah," jawab singkat lelaki itu sesampainya di kost.
Pandangnya menyapu langit-langit kamar sambil
menyeruput coklat panas di genggamannya.
"Mas
Zuuunnn, nanti malem mau beli makan apa mau goreng tempe aja?" Teriakan Fikri dari luar kamar Zun membuyarkan lamunannya.
Fikri adalah adik tingkat sekaligus tetangga kost
Zun. Mereka sering memasak bersama untuk menekan pengeluaran. Ya maklum, anak
perantauan. Toh mereka memang pandai memasak karena sering berperjalanan di
kota-kota orang, juga mendaki ke gunung. Jadi memasak bukanlah hal asing bagi
keduanya.
"Beli
aja lah Fik, minyak sama bawangnya juga habis."
"Yodah,
makan di penyetan biasa aja yo, Mas? Habis Maghrib. Aku pingin lele bakar ni,
mumpung awal bulan haha"
"Pulang
dari masjid ya. Dah siap-siap sana, dah mau iqomah. Bareng aja, aku ngambil
kunci motor dulu,"
-
Sesampainya di warung sambil menunggu pesanan Zun
menggulirkan status-status WhatsAppnya, tidak ada hal yang menarik yang ia
tunggu.
"Duh
jadi pengen coklat panas nih Mas," celetuk
Fikri sambil melihat ke layar gawainya.
"Kek
cewe aja tiba-tiba BM"
"Ya
gimana ya, lihat status Alula temen anak jurusan sebelah itu keknya seger
malem-malem dingin gini minum coklat panas. Ya nggak Mas?" Cetoleh Fikri sambil mengangkat alisnya.
Zun menolehkan wajahnya dengan cepat ke arah Fikri,
"Alula?
Temenmu?" Tanyanya sambil sedikit melotot saking
penasarannya.
"Sekarang
sih temen, sempet kepikiran buat deketin jaman-jaman semester awal yaa semester
3 lah. Tapi mikir ulang aku, Mas. Denger dari temen laki-lakinya kalau anaknya
susah kenal orang baru apalagi laki-laki, ini disimpen nomornya aja karena
pernah ada urusan acara, kalau enggak mah boro-boro. Lhah malah curhat kan aku
haha," Fikri sadar jawabannya begitu melantur dari
pertanyaan yang diajukan.
"Terus
kok kamu pengen coklat panasnya dia, emang dia mromosiin atau
gimana?" Selidik Zun yang tetap tenang dan tanpa lagak
mencurigakan.
"Ih
ini lho Mas coba lihat,
'Makasih Abang coklat panasnya!'
Gitu
doang si, Mas. Tapi pengen aja. Btw nih si Abangnya abang beneran ga si?
Setauku dia cuma punya kakak perempuan. Kalau ini doinya kenal sejak berapa
tahun lalu ya? Hahaha" Fikri menunjukkan layar ponselnya
ke depan Zun sambil terkekeh kecil.
"Kok
gitu tanyanya? Emang kenapa?" Zun
semakin penasaran dengan pertanyaan Fikri yang menggantung.
"Jadi
kawanku pernah nih iseng DM, ga dibales sampe berbulan-bulan, bahkan dibaca aja
enggak. Hmm apalagi ketemuan sama orang baru, susah Mas. Aku yang dah kenal yaa
hampir 2 tahun pernah ngajak ngopi ditolak mentah-mentah. Tapi dia kalau sama
temen lakik SMP atau SMA-nya gas aja diajak ngopi sampe agak malem pun. Heran.
Kata Cipa si Lula emang susah percaya sama anak baru apalagi laki-laki,
selektif gitu lah..."
"Lele
bakar sama ayam kremes atas nama Fikriii.." teriak penjaga warung sambil membawa pesanan.
"Di
siniii, Bu" teriak Fikri sambil melambaikan tangan.
Mereka berdua terdiam seakan-akan tidak ada
perbincangan sebelumnya yang perlu disambung, mereka asik menyantap pesanan
masing-masing. Tapi tidak dengan pikiran Zun setelah mendengar cerita dari adik
tingkatnya itu. Setelah selesai menyantap makan malamnya mereka segera bergegas
pulang.
Sesampainya di depan kos, Zun segera memarkirkan
motornya dalam garasi karena tidak ada rencana pergi lagi malam ini. Ia berniat
merampungkan kerjaannya yang masih kurang lengkap. Iyaa Zun memang sudah kerja
selama setengah tahun ini, tetapi ia sengaja tidak berpindah kost karena sudah
nyaman dengan lingkungan dan biayanya. Lagi pula ia tidak ngantor, melainkan
mengelola akun coffee shop kawannya, ya mulai dari memotret, mendesain, hingga
menjadi admin akun Instagram juga Tiktok. Setelah itu sore harinya ia mengajar
bimbel anak-anak baik SMP maupun SMA.
***
Gagang pintu ia raih, aroma kamarnya sedikit lekat
dengan aroma coklat yang belum ia habiskan, dan sedikit tercecer di lantai. Zun
berjalan agak gontai ke arah meja kerja di kamarnya, tangan kanannya menyaut
coklat panas yang sudah hilang panasnya. Tangannya beradu cepat dengan semut
yang berlari ke arah cup coklat. Ia seruput coklatnya yang sudah dingin sambil
tangan kirinya merogoh saku celana mencari ponselnya.
“La, lusa sore
ada jadwal kosong?” dua jempol Zun sedang beradu mengetikkan pesan untuk gadis di
ujung sana.
“Kosong kalau
Bang Zun mau bantu aku,” tak selang lama Alula membalas pesan.
“Bantu apa
dulu, Bocil?” tanya Zun
penasaran.
“Lusa sore jam
4 di KTR ya. Maaf ya Bang, aku mau tidur. Punggungku pegel banget ngurus
akreditasi TPA tadi. Daahhh..”
Gadis tersebut mengakhiri percakapan tersebut dengan sepihak, Zun tak
bisa mengelak dengan alasan Alula yang membuatnya kalah telak. Pikirannya
menyimpan segudang tanya tentang sikap Alula yang penuh teka-teki dan
tidak mampu ia telusuri dengan logika laki-laki. Alula, gadis yang pernah
mengkritiknya habis saat sidang pertanggungjawaban dua tahun lalu. Mereka belum
mengenal satu sama lain, bahkan terlalu berani bagi adik tingkat untuk
mengkritik kinerja kakak tingkatnya di dalam forum. ‘Cih, bocah sotoy’ begitu
pikir Zun dahulu. Tapi entah bagaimana cara takdir bekerja pada mereka, di
semester akhirnya Zun ‘tak sengaja’ mengenal si bocah tengil ini.
Dua tahun lalu juga, tepatnya dua pekan setelah menghabisi Zun di forum
dengan nada kritis setengah tengil, saat Zun menemui sahabatnya di suatu event
kampus ia kembali mendengar suara bocil tengil itu,
“Mas Zun!
Ciee.. Bawa buket buat siapa tu? Ahaha” teriak Alula sambil terkekeh melihat Zun
mengendap-endap dan celingukan di hall kampus yang luas.
Ternyata gadis tengil tersebut menjadi salah satu panitia event tersebut.
‘Sial, kenapa harus ketemu
si tengil ini,’ batin Zun. Ia cukup tertegun karena suara gadis tersebut tidak
setengil dua pekan lalu saat berada di ruang sidang, suaranya terdengar jauh
lebih ramah, tawanya juga terdengar sangat renyah. Oh bisa bercanda juga rupanya.
Sepulang acara tersebut Zun yang enggan terlalu lama menyimpan penasaran pada
gadis aneh tadi segera menelusuri akun Instagramnya. Rupanya gadis tadi
terbilang cukup gemar menulis dengan adanya caption yang ‘niat’ pada tiap-tiap
postingannya hingga mencantumkan diary digitalnya dalam bentuk blog yang ia
namai 'Sekar Antara'. Tampilan feeds instagramnya juga terbilang lumayan walau
tidak terlalu rapi-rapi kalau dibandingkan feeds Instagram Zun sendiri--yang
tidak perlu diragukan lagi. Tidak terlalu penting memang, tapi bagi Zun hal
tersebut cukup menarik perhatiannya.
Lagi belajar nulis cerita
fiksi, ceritanya jangan diambil hati.
Tidak ada komentar: