(POV Alula)
Tiga hari lagi proyek akhir bogaku akan
diselenggarakan. Seingatku semuanya sudah kupersiapkan dengan matang, tidak ada
yang luput. Bapak dan Mbak Sarah juga bisa hadir, Ibu pasti akan mendoakan
kelancaran proyek akhirku dari surga. Kuingat teman-teman dekatkku SMP hingga
SMA sudah memesan tiket, mereka sudah meluangkan waktuya sejak tahun lalu
mungkin ahaha. Namun ada rasa gelisah yang aku pun tidak tahu dari mana
muaranya. Apa mungkin karena alpanya kabar laki-laki yang dua semester ini
sering bersamaku? Aku kesal, kadang dia bisa hadir tiba-tiba menawarkan bantuan—yang
sebenarnya masih sanggup kulakukan sendiri—tetapi kadang menghilang dan hanya meninggalkan
jejak tanya.
“Ck biarin lah, ngapain kupikir banget-banget,”
aku berdecik kesal sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
Kurebahkan punggungku ke kasur kapuk rumah yang jauh
dari kata empuk. Mungkin harapku terlalu melambung jauh, membayangkan
laki-laki tadi membawakan buket kecil yang entah apa isinya, seperti buket yang
ia bawa untuk sahabatnya dua tahun lalu. Kemudian kita berdua bisa berfoto
bersandingan. Sebenarnya sudah ada niatan untuk menuliskan appreciation post
untuknya juga di diary digitalku agar tidak terlalu banyak mata membaca tentang
pertemanan kita. Tapi apa daya, anganku harus pupus dengan tidak adanya kabar
tentangnya yang berhembus. Aku menarik nafas berat dan membuangnya kasar.
“Udah ya Alula Sekar Mayara, mending kamu
ngerjain teaser acara aja deh,” aku mendengus kesal dengan
kekalutan pikiran ini.
Segera kusaut memori kamera dan memindahkan footage
untuk teaser proyek akhir ke ponsel. Meskipun aku belum sekeren Bang Zun dalam
mengedit video dengan Adobe Premier Pro, setidaknya beliau pernah mentrainingku
singkat tentang video editing menggunakan ponsel sehingga saat ia lenyap ditelan
bumi aku masih bisa berdiri tegak di atas kakiku sendiri. Ah trimakasih! Semoga
ilmu ini menjadi amal jariyahmu ya, Bang!
***
Sudah dua jam
proyek akhirku berlangsung, Bapak dan Mbak Sarah sudah datang satu jam lalu dan
sudah mencicipi inovasi makanan yang aku racik sampai beminggu-minggu mengikis
jam tidurku, beliau berdua lah yang selalu kusodori tester inovasi makanan ini,
mulai dari nggak enak sampai layak disajikan di proyek akhir. Teman-teman
sebagian sudah datang dan lainnya masih di jalan. Satu setengah jam lagi acara
selesai. Tapi kabar laki-laki itu masih nihil, sudah tiga hari ini aku menunggu
kabar darinya. Pesanku dua hari lalu belum juga dibaca, kutanyakan pada Fikri
dia juga tak tahu karena sepulang kuliah kamar laki-laki tadi sudah terkunci. Sampai
pagi tadi pun Fikri tidak mendengar langkah kaki laki-laki tersebut, motornya
tidak ada di garasi. Feeling-nya bukan pergi mendaki, karena beberapa
peralatannya masih tertinggal di kamar Fikri, cuaca pun banyak mendung, kurang
mendukung. Aku semakin tidak tenang, tapi baiknya kusimpan dahulu
kekhawatiranku ini. Kasihan teman-teman yang sudah jauh-jauh datang malah
kusuguhkan raut gelisah.
-
Jarum jam di backstage auditorium kampus sudah
menunjukkan pukul lima sore. Evaluasi sudah selesai satu jam lalu, sekarang
semua orang sudah selesai berkemas, ruangan ini terasa lega setelah
ditinggalkan penghuninya satu persatu, termasuk aku. Badan mungilku terasa kaku,
terutama tengkuk dan punggung setelah kemarin loading barang dan gladi bersih hingga
pukul 10 malam, sesampainya di kost Cipa aku masih harus mengerjakan desain dan
teaser D-Day hingga jam dua pagi. Sore ini aku harus pulang ke rumah dengan
seabrek barang yang dua hari terakhir kutitipkan di kost Cipa, belum lagi belasan buket
pemberian teman-teman tadi. Ah motor gigiku cukup riweuh untuk membawa
barang sebanyak ini sendirian, tidak enak jika harus menelpon Bapak untuk
menjemput dan membantuku membawakan ini.
Seperti weekday pada umumnya di jam pulang kantor
jalanan begitu riuh, klakson-klakson bersahutan meminta tuannya didahulukan.
Pak ogah sibuk menyebrangkan beraneka macam kendaraan di persimpangan. Lampu
jalan sepanjang Jalan Solo berpendar menghangatkan jalanan selepas hujan. Aku
lihat matahari perlahan pergi sambil mengintip penghuni Jogja dari atas flyover
Janti. Tiap-tiap orang beradu cepat sampai tujuan dengan kebut-kebutan. Sesampainya
di rumah kedatanganku disambut teriakan Mbak Sarah,
“La, tadi dah dimasakin air anget sama Bapak.
Jangan lupa dituang dulu ke ember sebelum kamu mandi.”
“Ah iyaa Mbak makasiih.. Bapak kemana?”
tanyaku sambil melongokkan kepala ke kamar Mbak Sarah.
“Tadi Om Har minta temenin Bapak ngurusin
nikahannya Mas Ilham, putranya.”
“Ohh..” aku
mengangguk pelan sambil menutup kembali pintu kamar Mbak Sarah.
Seusai bersih-bersih aku membuka ponselku dan kalian
tahu? Laki-laki yang kabarnya alpa tiga hari ini akhirnya menghubungiku! Ah
leganya. Dia mengucapkan selamat atas terselenggaranya proyek akhirku siang
tadi. Aku yang memupuk subur khawatir selama tiga hari ini reflek menekan
tombol telepon tanpa meminta izin terlebih dahulu. Omelanku bagai banjir bandang yang sulit dihentikan lajunya.
“Ssttt
jangan keras-keras.” Bang Zun coba menghentikan hujan kegelisahanku
yang begitu deras mengguyurnya tanpa jeda.
Tidak ada komentar: