Chapter 4: KURANG

(POV Alula)

Tiga hari lagi proyek akhir bogaku akan diselenggarakan. Seingatku semuanya sudah kupersiapkan dengan matang, tidak ada yang luput. Bapak dan Mbak Sarah juga bisa hadir, Ibu pasti akan mendoakan kelancaran proyek akhirku dari surga. Kuingat teman-teman dekatkku SMP hingga SMA sudah memesan tiket, mereka sudah meluangkan waktuya sejak tahun lalu mungkin ahaha. Namun ada rasa gelisah yang aku pun tidak tahu dari mana muaranya. Apa mungkin karena alpanya kabar laki-laki yang dua semester ini sering bersamaku? Aku kesal, kadang dia bisa hadir tiba-tiba menawarkan bantuan—yang sebenarnya masih sanggup kulakukan sendiri—tetapi kadang menghilang dan hanya meninggalkan jejak tanya.

“Ck biarin lah, ngapain kupikir banget-banget,” aku berdecik kesal sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

Kurebahkan punggungku ke kasur kapuk rumah yang jauh dari kata empuk. Mungkin harapku terlalu melambung jauh, membayangkan laki-laki tadi membawakan buket kecil yang entah apa isinya, seperti buket yang ia bawa untuk sahabatnya dua tahun lalu. Kemudian kita berdua bisa berfoto bersandingan. Sebenarnya sudah ada niatan untuk menuliskan appreciation post untuknya juga di diary digitalku agar tidak terlalu banyak mata membaca tentang pertemanan kita. Tapi apa daya, anganku harus pupus dengan tidak adanya kabar tentangnya yang berhembus. Aku menarik nafas berat dan membuangnya kasar.

“Udah ya Alula Sekar Mayara, mending kamu ngerjain teaser acara aja deh,” aku mendengus kesal dengan kekalutan pikiran ini.

Segera kusaut memori kamera dan memindahkan footage untuk teaser proyek akhir ke ponsel. Meskipun aku belum sekeren Bang Zun dalam mengedit video dengan Adobe Premier Pro, setidaknya beliau pernah mentrainingku singkat tentang video editing menggunakan ponsel sehingga saat ia lenyap ditelan bumi aku masih bisa berdiri tegak di atas kakiku sendiri. Ah trimakasih! Semoga ilmu ini menjadi amal jariyahmu ya, Bang!

***

Sudah dua jam proyek akhirku berlangsung, Bapak dan Mbak Sarah sudah datang satu jam lalu dan sudah mencicipi inovasi makanan yang aku racik sampai beminggu-minggu mengikis jam tidurku, beliau berdua lah yang selalu kusodori tester inovasi makanan ini, mulai dari nggak enak sampai layak disajikan di proyek akhir. Teman-teman sebagian sudah datang dan lainnya masih di jalan. Satu setengah jam lagi acara selesai. Tapi kabar laki-laki itu masih nihil, sudah tiga hari ini aku menunggu kabar darinya. Pesanku dua hari lalu belum juga dibaca, kutanyakan pada Fikri dia juga tak tahu karena sepulang kuliah kamar laki-laki tadi sudah terkunci. Sampai pagi tadi pun Fikri tidak mendengar langkah kaki laki-laki tersebut, motornya tidak ada di garasi. Feeling-nya bukan pergi mendaki, karena beberapa peralatannya masih tertinggal di kamar Fikri, cuaca pun banyak mendung, kurang mendukung. Aku semakin tidak tenang, tapi baiknya kusimpan dahulu kekhawatiranku ini. Kasihan teman-teman yang sudah jauh-jauh datang malah kusuguhkan raut gelisah.

-

Jarum jam di backstage auditorium kampus sudah menunjukkan pukul lima sore. Evaluasi sudah selesai satu jam lalu, sekarang semua orang sudah selesai berkemas, ruangan ini terasa lega setelah ditinggalkan penghuninya satu persatu, termasuk aku. Badan mungilku terasa kaku, terutama tengkuk dan punggung setelah kemarin loading barang dan gladi bersih hingga pukul 10 malam, sesampainya di kost Cipa aku masih harus mengerjakan desain dan teaser D-Day hingga jam dua pagi. Sore ini aku harus pulang ke rumah dengan seabrek barang yang dua hari terakhir kutitipkan di kost Cipa, belum lagi belasan buket pemberian teman-teman tadi. Ah motor gigiku cukup riweuh untuk membawa barang sebanyak ini sendirian, tidak enak jika harus menelpon Bapak untuk menjemput dan membantuku membawakan ini.

Seperti weekday pada umumnya di jam pulang kantor jalanan begitu riuh, klakson-klakson bersahutan meminta tuannya didahulukan. Pak ogah sibuk menyebrangkan beraneka macam kendaraan di persimpangan. Lampu jalan sepanjang Jalan Solo berpendar menghangatkan jalanan selepas hujan. Aku lihat matahari perlahan pergi sambil mengintip penghuni Jogja dari atas flyover Janti. Tiap-tiap orang beradu cepat sampai tujuan dengan kebut-kebutan. Sesampainya di rumah kedatanganku disambut teriakan Mbak Sarah,

“La, tadi dah dimasakin air anget sama Bapak. Jangan lupa dituang dulu ke ember sebelum kamu mandi.”

“Ah iyaa Mbak makasiih.. Bapak kemana?” tanyaku sambil melongokkan kepala ke kamar Mbak Sarah.

“Tadi Om Har minta temenin Bapak ngurusin nikahannya Mas Ilham, putranya.”

“Ohh..” aku mengangguk pelan sambil menutup kembali pintu kamar Mbak Sarah.

Seusai bersih-bersih aku membuka ponselku dan kalian tahu? Laki-laki yang kabarnya alpa tiga hari ini akhirnya menghubungiku! Ah leganya. Dia mengucapkan selamat atas terselenggaranya proyek akhirku siang tadi. Aku yang memupuk subur khawatir selama tiga hari ini reflek menekan tombol telepon tanpa meminta izin terlebih dahulu. Omelanku bagai banjir bandang yang sulit dihentikan lajunya.

 “Ssttt jangan keras-keras.” Bang Zun coba menghentikan hujan kegelisahanku yang begitu deras mengguyurnya tanpa jeda.

“Kenapa?” 
Chapter 4: KURANG Chapter 4: KURANG Reviewed by Han on November 01, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.