Beberapa hari lalu tepatnya Sabtu dan
Ahad, 6-7 Juli 2018 BADKO TKA-TPA Sedayu (Badan Koordinasi TKA-TPA) mengadakan
Jambore Santri. Terlintas dalam pikiran saya saat mendengar kata Jambore,
“kemah dan latihan mandiri.” Yes! Asik sekali bisa kemah di bulan kemarau
seperti sekarang ini, tidak ada tenda yang kebanjiran, kompor basah lalu tidak
memasak, pengalihan tidur di pendopo karena tenda yang roboh diterpa hujan
badai seperti SMP dan SMA lalu ahaha.
Alih-alih kemah untuk melatih
kemandirian santri-santri, eh lucunya jambore kali ini disertai pendamping yang
rata-rata Ustadz-Ustadzah maupun kakak-kakak remaja masjid. Beliau-beliau ini
nantinya tidur dan mendampingi santrinya 24 jam, tidur setenda atau membuat
tenda di samping tenda santrinya. Sudah mulai curiga saya mendengarnya, dan
ternyata benar adanya. Prinsip kemah yang identik membawa barang seminimal dan
sesimpel mungkin tidak lagi berguna.
Kebetulan kemah kali ini merupakan
Persami (Perkemahan Sabtu Minggu). Mungkin jika pendampingnya merupakan remaja
masjid cenderung ‘bodo amat’, maksudnya mereka memberikan ruang santrinya untuk
belajar mandiri selayaknya kemah pada umumya. Mereka pasti berfikiran, “Sesusah
apapun kemah kalian, kita juga pernah merasakan. Sudah khatam malahan.” Namun
cukup bahayanya saat pendamping regu merupakan ibu-ibu Ustadzah, haduuu ya
gituu...
Karena Persami seharusnya semakin simpel dong
peralatan yang dibawa, toh hanya dua hari satu malam dan tenda sudah disediakan
panitia.
Seharusnya baju yang dibawa cukup dua, paling banyak
tiga, bukan empat sampai lima.
Seharusnya kompor yang dibawa cukup kompor potable
saja, bukan kompor satu atau dua tungku
beserta tabung melonnya.
Seharusnya alat masak cukup nesting saja, paling
rempong membawa satu panci atau ketel
dan satu wajan, tidak perlu soblok, dua wajan, dan dua panci.
Ah
itu kan seharusnya, tidak harus seperti itu, tidak harus ‘ideal’ seperti kemah
pada umumnya. Namanya juga ibu, ibu mana yang tega melihat anaknya kelaparan dan
kelelahan setelah beraktivitas? Ibu mana yang rela anaknya kelaparan ditengah
malam?
Jadi
bisa kita tebak suasana perkemahan saat itu. Jika melihat ibu-ibu memasak di
kapling santri-santrinya bukanlah suatu hal yang aneh, itu masih tergolong lumrah.
Lha kok? Lha ada juga regu setiap
menjelang jam makan siang mendapat kiriman katering, entah nasi padang, sate,
nasi goreng, pecel lele, dan sarapan paginya pun roti kukus dan susu segar. Saya
di rumah saja tidak pernah semewah itu.
Kalau begitu kira-kira kegiatan ini lebih layak
dibilang kemah atau pindah rumah? Ehehehe.
Ada pula regu yang lebih kewren, tidak
sekedar diam-diam menancapkan rol kabel di sekretariat panitia, tetapi membawa
Ganset untuk regunya. Sehingga saat pagi buta dimana listrik buper padam (padahal
sedang ada kegiatan sholat tahajud santri), regu tersebut bersinar dengan
eloknya memancarkan nur (baca: cahaya) lampu
yang bersumber dari Genset wkwk. Apalah daya saya sebagai penggembira,
panitiapun tak berdaya dengan segala keajaiban di jambore ini.
Dilihat
dari susuanan acaranya pun memang kurang efektif, mengingat banyak sekali waktu
luang, waktu ishoma yang terlalu panjang contohnya. Hingga saat siang hari
saking gabutnya santri mereka malah menyirami tendanya dengan botol air mineral
yang sudah dilubangi, karena kata mereka kalau berdiam diri di dalamnya bak
dioven hingga matang. Panash!
Namun
melihat semua keanehan maupun keajaiban pada jambore ini masih dapat dimaklumi
dan dimaafkan, mengingat kegiatan ini baru pertama kali diselenggarakan. Dan
sebenarnya kegiatan ini sangatlah menarik untuk diadakan lagi tahun depan.
Tidak lain dan tidak bukan untuk melatih kemandirian. Harapan kedepan semoga
pelaksanaan Jambore semakin aserehee, kalau perlu tidak diberi pendamping,
jam besuk dibatasi, dan rundownnya semakin padat. Semangat!
Jambore Santri BADKO TKA-TPA Rayon Sedayu 2018 : Kemah Tanpa Rasa Kemah(ndirian)
Reviewed by Han
on
November 20, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: